hello!

Asmarandhany
3 min readApr 8, 2018

--

Hi.

After a long hiatus in writing, I’m back. Akhirnya gw nulis sesuatu di medium juga, setelah sebelumnya menggunakan platform ini hanya untuk baca tulisan-tulisan orang, giving claps, and saving articles that resonate to me.

Untuk yang ga kenal gw, harap maklum kalo gw nulis itu bahasanya campur aduk — mostly slang Indonesian dicampur English. Dipikir-pikir gaya tulisan gw itu masuk ke dalam perfect stereotype millennial Jakartans. Believe me, ga ada maksud untuk ‘sok iye’ dengan nyampur-nyampur Bahasa kaya gini. Muka gw juga jauh lah dari Cinta Laura. Beberapa topik (mostly yang dekat dengan keseharian, family values, dan hal-hal sederhana) kosa kata gw lebih banyak dalam Bahasa Indonesia. Sementara untuk topik-topik seperti kerjaan, personal development, relationships, and hobbies, banyak yang gw experienced dalam Bahasa Inggris. Contohnya, karena industry kerjaan gw adalah di digital, maka banyak terms yang tentu aja gw pake dalam Bahasa Inggris. Simply because I wouldn’t know how to say it in Indonesian.

Setelah udah makin “dewasa”(dewasa nya pake quote soalnya kadang gw nyadar gw masih suka childish), gw makin ngerti kalau experiences shape you.. a lot. Mulai dari hal minor yang kita suka ga sadar, seperti masalah penggunaan kosa kata dan Bahasa..

You know, there’s always a reason why people behave the way they behave. As there’s always a reason why people talk the way they talk. Pernah dong lo ngobrol-ngobrol sama orang yang baru kenal, lalu dalam 5 menit you can already tell what kind of background this person is from. Apakah dia ‘smart’ atau agak ‘oon’. Apakah dia ‘sengak’ atau ‘humble’. Apakah dia ‘asik’ atau ‘boring’.

Terlepas dari apakah orang tersebut extrovert dan ceriwis, atau pendiem dan agak shy-shy-cat, dalam 5 menit tersebut, lo udah bisa assess, whether you can be friends with this person, or not.

Dan makin kesini, makin penting lah buat gw untuk ga cepet ng-judge hidup orang lain and take things personally. You know, most of the time, people do what they do, not because of you. But because of themselves. Their past experiences probably shape them that way.

Next time kalau lo ketemu orang yang agak ‘beda’ pilihan hidupnya, atau punya kebiasaan-kebiasaan aneh, atau just simply confusing you — jangan buru-buru dinilai negatif. Pasti ada alesannya kenapa dia kaya gitu.

Apakah lo perlu tau atau ga perlu tau alasannya, it’s up to you to decide. You don’t have to invest too much time to understand where they coming from, kalo lo pikir orang ini ga penting-penting amat di hidup lo. Cukup lo toleransiin aja.

Tapi kalau dia adalah salah satu orang terdekat lo, mungkin ada baiknya lo berusaha untuk invest a little bit more time to understand, why they do what they do. Biasanya kalau kita paham reasoning orang, kita bisa lebih sympathetic sama tingkahnya. Misalnya, ada orang yang keliatannya ga ekspresif, kerjaannya diem terus memendam perasaan dia. Ternyata pas kita cari tau, dia lahir di keluarga yang opresif, dan dia ga pernah dibiarkan untuk mengutarakan perasaannya. Sehingga itu anak jadi sering galau dan indecisive. Kalau udah tau gitu, kita jadi tau gimana harus menghadapi orang kaya gini. Treatment kaya gimana untuk result kaya gimana yang kita expect. (beneran kaya problem solving di kerjaan aja!).

Segitu dulu ya dari gw hari ini, gw mau nonton Ready Player One nih. Sambung lagi next time.

--

--

Asmarandhany
Asmarandhany

Written by Asmarandhany

INTJ. I think the best human invention is language. I'd always choose a nice dinner + wine + good convo than clubbing for a good night out.

Responses (1)